Etika adalah pokok pembahasan tentang apa yang benar atau berbicara tentang nilai-nilai yang berlaku di dalam suatu kelompok tertentu. Hal ini menimbulkan masalah etika karena berbagai macam individu atau kelompok manusia yang berbeda-beda ideologinya. Masalah etika adalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat ada umumnya, oleh sebab itu ada beberapa pandangan tentang arti dari etika itu yang juga memberikan perbedaan yang sangat mencolok bagi definisi atau pengertian etika Kristen.
Etika berkaitan dengan masalah moral yaitu apa yang benar dan apa yang salah. Sedangkan etika Kristen berkaitan dengan masalah moral yaitu apa yang benar dan apa yang salah bagi orang yang percaya. Yaitu orang-orang yang percaya kepada Allah dan firman-Nya sebagai pewahyuan ilahi yang dinyatakan secara khusus bagi orang percaya. Oleh karena keyakinan kita didasarkan kepada Kitab Suci, maka ayat-ayat di dalam Alkitab harus diterapkan sebagai hukum ilahi yang berotoritas atas kehidupan orang Kristen.
Etika Kristen didasarkan pada perintah-perintah Allah, wahyu yang bersifat umum (Roma 1:19-20; 2:12-15) dan khusus (Roma 2:18; 3:2). Allah telah menyatakan diri-Nya baik melalui alam (Mazmur 19:1-6) dan di dalam Kitab Suci (Mazmur 19:7-14). Wahyu umum berisikan perintah Allah bagi semua orang. Wahyu khusus mendeklarasikan kehendak-Nya untuk orang-orang percaya. Tetapi di dalam kedua hal tersebut, dasar dari tanggung jawab etis manusia adalah wahyu ilahi.1
Demikianlah ketika kita membicarakan tentang bisnis dalam pandangan etika Kristen, berarti prinsip-prinsip Alkitabiah harus diterapkan di dalam menjalankan bisnis tersebut. Namun, seringkali orang akan menemukan pertentangan-pertentangan ketika ia akan menerapkan firman Tuhan dalam bisnisnya. Karena tujuan dari pada bisnis adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dan dalam usaha untuk mendapatkan keuntungan terbesar, maka muncullah berbagai macam motif dan metode yang berbeda-beda. Di sinilah kadang kala muncul kontradiksi perspektif antara bisnis dan Alkitab. Apalagi bila seorang Kristen pelaku bisnis diperhadapkan dengan dua pilihan yang krusial, maka keputusan yang diambil haruslah keputusan yang mengakibatkan resiko terkecil.
Secara sederhana, masalah etika bisnis muncul bila terjadi konflik tanggung jawab, atau konflik loyalitas. Hal ini muncul karena kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain bertabrakan dan kepentingan orang lain mungkin akan dikorbankan demi diri sendiri atau kelompok sendiri dalam praktik bisnis.2
Bukan hanya sekedar orang Kristen pelaku bisnis, namun bagaimana jika pelaku bisnis itu adalah seorang hamba Tuhan? Seorang pelayan mimbar? Atau pendeta? Bagaimanakah ia menerapkan prinsip-prinsip Alkitabiah dalam bisnisnya? Apakah konsekuensinya ketika ia menerapkan prinsip Alkitab? Apakah prioritasnya benar? Ataukah akan berubah-ubah? Dan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu dijawab. Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut haruslah berdasarkana kebenaran firman Allah yang menjadi otoritas tertinggi dalam kehidupan orang-orang Kristen.
BISNIS SEKULER VS BISNIS ALKITABIAH
Telah disinggung sedikit sebelumnya bahwa ada dilema yang akan dihadapi oleh seorang Kristen yang menjadi pelaku bisnis, apalagi bila ia adalah seorang hamba Tuhan. Tujuan utama dari bisnis pada dasarnya adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, yang dimaksudkan keuntungan di sini pastilah berkaitan erat dengan uang.
Tujuan dunia bisnis ialah berhasil dalam bisnis. Semua orang tahu bahwa memperoleh uang lebih banyak daripada yang dibelanjakan merupakan kunci keberhasilan dalam bisnis apapun juga. Itulah sebabnya falsafah populer dunia ini adalah: “Lakukanlah apa saja demi memperoleh uang karena uang adalah kunci keberhasilan bisnis.”3
Sedangkan Alkitab memberikan peringatan bahwa cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan (1 Timotius 6:10), ayat ini berbicara tentang sikap hati terhadap uang. Uang adalah sesuatu yang kita butuhkan untuk melakukan transaksi jual beli, namun apabila uang sudah menjadi sesuatu yang mengikat dan menarik hati kita maka akan mengakibatkan berbagai macam kejahatan oleh karena cinta uang.
Sehingga orang juga bisa menjadi hamba uang, kendati Alkitab telah memperingatkan kita (1 Timotius 3:3; 2 Timotius 3:2; Ibrani 13:5). Juga Tuhan memperingatkan bahwa kita tidak dapat melayani dua majikan yaitu Tuhan atau
mamon (Matius 6:24; Lukas 16:9, 11, 13). Dari ayat-ayat ini tidak ada satupun
yang mengindikasikan bahwa Tuhan melarang atau membenci uang, karena ada juga banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang kehidupan dunia bisnis.
Dan pastilah ayat-ayat yang dibentangkan di dalam Alkitab banyak di antaranya berkaitan dengan pribadi Tuhan sendiri. Tuhan menunjukkan perhatian-Nya dalam usaha (bisnis) pertanian ketika Ia berjanji : “selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai”. Malah sebagian besar tulisan Musa dalam Perjanjian Lama terdiri atas perintah-perintah Tuhan mengenai usaha pertanian (Imamat 25: 3-4). Tuhan juga terlibat dalam bisnis real estate (tanah dan rumah). Beberapa ayat dalam Perjanjian Lama merupakan perintah Tuhan secara garis besar mengenai cara mengadakan transaksi dalam bisnis real estate. (Imamat 25:10-25; Ulangan 19:14; 27:17).
Tidak! kita tidak boleh mengatakan, bahwa “bisnis itu kotor”. Bila ia menjadi kotor, itu adalah karena kesalahan manusia. Bukan oleh karena memang begitulah yang Ia kehendaki. Yang Tuhan kehendaki justru adalah, menjaga kebersihan dan kesucian bisnis itu. Yang Tuhan kehendaki justru adalah, melaksanakan kegiatan itu dengan sepenuh hati kita, disemangati oleh ketaatan kepada-Nya, serta kesadaran yang penuh bahwa kita sedang mengelola harta milik Allah sendiri.4
Bukan hanya itu saja, namun Tuhan juga memperhatikan perkembangan sistem kredit dan perbankan (Keluaran 22:25); dalam urusan ukur mengukur dan timbang menimbang (Imamat 19:35-36); dalam perkembangan sistem peradilan (Keluaran 23:1-9); dan dalam program kesejahteraan sosial untuk menunjang rang-orang miskin (Imamat 19:9-10; Ulangan 24:17-22). Dari ayat-ayat ini, kita dapat melihat bagaimana Tuhan menaruh perhatian kepada hal-hal yang berkaitan dengan manajemen dalam banyak aspek kehidupan umat-Nya.
Namun motif dan metode yang digunakan oleh Allah jelaslah berbeda dengan yang digunakan oleh orang-orang dunia. Di sinilah muncul dilema dalam diri
hamba Tuhan yang melakukan bisnis. Dilema dalam membuat keputusan, dilema dalam membuat pilihan, dan dilema dalam bertindak. Motif dan metode yang berbeda akan menimbulkan kesulitan dalam menyeimbangkan bisnis dan Alkitab, apabila si pelaku bisnis tidak mengerti kebenaran firman Allah. Dan perlu diingat bahwa otoritas Allah yang mengatur kegiatan bisnis dalam Alkitab hanya dapat berlaku bagi orang yang percaya pada-Nya.
Dalam dunia bisnis sekuler, standar moral menjadi suatu yang relatif bukan sesuatu yang mutlak seperti yang diajarkan oleh Alkitab. Alasan, dasar, dan fokus dari kebenaran berubah-ubah dan tolok ukurnya tidak permanen. Berbeda dengan etika Kristen yang berdasarkan pewahyuan Allah melalui Alkitab, yang bersifat menentukan, mutlak dan berdasarkan kehendak Allah yang memegang segala otoritas di dunia ini. Ia adalah Tuhan di atas segala tuan, yang berhak memberikan standar ukuran kebenaran, yang kepada-Nya semua manusia bertanggung-jawab.
Dalam mengambil keputusan etis orang memiliki berbagai pertimbangan. Secara sederhana, pertimbangan-pertimbangan tadi dapat dipetakan atau dibuat klasifikasinya. Pada bagian ini kita akan mengenali seluk beluk tiap pertimbangan (yang selanjutnya akan disebut “metode etika”),…Secara umum ada beberapa aliran metode etika yang terkenal:
1. Hedonisme = motif, sikap, atau tindakan yang diambil adalah berdasarkan “kesenangan” atau kenikmatan diri.
2. Egoisme = motif, sikap dan tindakan yang diambil adalah berdasarkan hasil yang menguntungkan dirinya sendiri.
3. Teleologi = motif, pertimbangan, dan tindakan yang diambil adalah diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai.
4. Utilitarian = salah satu metode etika teleologis yang berdasarkan kalkulasi hasil sedemikian sehingga yang paling bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang.
5. Kontrak sosial = motif, pertimbangan, atau tindakan etis yang berdasarkan pada kalkulasi untuk mencapai keadilan “fairness”.
6. Altruisme = motif, pertimbangan, atau tindakan etis yang diambil adalah dengan tujuan mendahulukan kepentingan orang lain.5
Namun, dari semua metode etika dalam dunia bisnis tersebut memiliki kelemahan masing-masing dalam menerapkannya, sehingga masih ada timbulnya konflik di dalam bisnis tersebut. Kelemahan yang ada seringkali muncul karena tidak adanya standar moral atau kebenaran yang mutlak. Dan apabila dikaitkan dengan pelayanan, maka bisnis tersebut akan mengganggu juga pelayanan. Konflik yang timbul di dalam pelayanan dapat juga menimbulkan perpecahan di dalam jemaat, dan yang lebih utama lagi adalah nama Tuhan tidak dimuliakan. Oleh sebab itulah dalam sistem etika secara umum (deontologis dan teleologis), etika Kristen mengacu kepada deontologis.
Sebaliknya, etika Kristen itu deontologis dalam arti bersikeras bahwa bahkan beberapa tindakan yang menghasilkan kegagalan itu tetap baik. Orang-orang Kristen percaya, misalnya, bahwa adalah lebih baik untuk mengasihi dan kehilangan daripada tidak mengasihi sama sekali. Orang-orang Kristen percaya bahwa salib bukan merupakan kegagalan hanya karena beberapa orang akan diselamatkan. Salib itu cukup bagi semua orang, walaupun hanya bermanfaat untuk mereka yang percaya. Etika Kristen bersikeras bahwa adalah baik untuk bekerja menentang kefanatikan dan rasisme, meskipun usaha itu mengalami kegagalan. Hal ini demikian karena tindakan-tindakan moral yang mencerminkan natur Allah itu baik, baik tindakan itu membawa hasil ataupun tidak. Kebaikan bagi orang Kristen tidak ditentukan oleh undian.6
Kemutlakkan dari Alkitab tidak dapat ditawar-tawar. Tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan apapun juga. Tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun juga. Dan tidak dipengaruhi oleh situasi apa pun juga. Kemutlakkan Alkitab menjadi ciri khas yang sangat penting bagi orang percaya, sebab berpusatkan kepada Tuhan. Dan bukan kepada diri sendiri.
Oleh sebab itu masalah terakhir yang dihadapi oleh hamba Tuhan yang terlibat dalam bisnis adalah masalah egoisme dan egosentris. Sebab kita adalah
manusia yang memiliki sikap egois di dalam diri kita, dan selama kita masih menjadi manusia dan hidup di dalam dunia ini maka sulit sekali untuk dapat melepaskan kecenderungan-kecenderungan sikap mementingkan diri sendiri di dalam bisnis kita. Sikap mementingkan diri sendiri seringkali timbul karena adanya persaingan dalam dunia bisnis. Dalam Yakobus 3:16, dikatakan bahwa kekacauan dan kejahatan timbul karena iri hati dan egoisme.
Bahwa di samping anugerah penyelamatan dan penebusan di dalam Yesus Kristus yang telah membaharui secara fundamental realitas kehidupan manusia, kita juga harus berbicara tentang kenyataan kuasa dosa yang masih ada di dalam kehidupan manusia. Bahwa manusia senantiasa ditarik oleh dua kekuatan. Pada satu pihak, ia ditarik oleh kuasa Penebus Kristus yang membuat hidupnya tertuju ke luar, kepada Allah, sesama, dan sekitarnya. Namun pada saat yang sama, ia pun ditarik oleh kuasa dosa yang membuat hidupnya hanya terarah kepada dirinya sendiri.7
Melihat segala tantangan yang dihadapi, maka seorang hamba Tuhan yang terlibat dalam bisnis harus memiliki tekad yang kuat, kesungguhan, dan kemauan untuk hidup berpusat kepada apa yang dikehendaki oleh Allah dalam firman-Nya. Apabila ada komitmen yang kuat, maka niscaya hamba Tuhan tersebut tetap eksis dalam pelayanan, bahkan lewat bisnisnya nama Tuhan dipuji dan dimuliakan. Orientasi akan berubah dan tetap hanya kepada Tuhan, dan tidak akan terpengaruh dengan kondisi dan situasi apa pun juga.
Tekad yang kuat juga adalah dalam menerapkan firman Tuhan dengan pemahaman yang benar dan tanpa kompromi dengan apa pun juga, maka Tuhan pasti memberkati usaha apa pun juga yang dijalani. Sehingga digenapilah apa yang Allah rencanakan dalam hidup kita, bagi masyarakat di sekitar kita, dan yang terutama bagi kemuliaan nama Tuhan.
BISNIS DAN PELAYANAN
Dalam menerapkan prinsip-prinsip Alkitab pada suatu usaha, maka ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Yaitu, apa yang menjadi prioritas dalam bisnis itu? Apa yang dipercayai dalam bisnis itu? Apa tanggung jawab di dalamnya? Dan apa yang harus diterapkan dalam bisnis itu?. Apabila pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab dengan benar dan tepat, maka suatu usaha menjadi hal yang benar dan baik di mata Tuhan, dan Tuhan pasti akan memberkatinya, supaya lewat berkat itu nama Tuhan dimuliakan.
Pertanyaan yang pertama muncul karena seringkali seorang Kristen yang melakukan bisnis terjepit di antara asas-asas Alkitabiah dan asas-asas duniawi dalam menjalankan bisnis. Pada satu pihak, tujuannya adalah untuk melayani, mematuhi, dan menyenangkan hati Tuhan, dan Tuhan mengatakan bahwa kita harus jujur dan adil dalam mengelola bisnis kita. Namun, kadangkala kita sering tergoda untuk menghalalkan segala macam cara demi keberhasilan bisnis itu. Jadi, hamba Tuhan yang memiliki usaha harus mengambil keputusan untuk selalu mengutamakan Tuhan dalam menjalankan bisnisnya. Dalam Matius 22:37-39, berbicara tentang hukum yang terutama yaitu mengasihi Allah.
Apakah Anda mau menjadi murid Yesus dan mengikut Dia juga di dalam dan melebihi kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisnis Anda? Kalau begitu, Anda juga harus memahami betul apa-apa saja resikonya. Anda mesti mengambil keputusan yang sungguh-sungguh otentik. Anda mesti memilih: Yesus atau Mamon. Tak mungkin kedua-duanya.8
Ada dua alasan penting untuk mengutamakan Allah dalam hidup dan bisnis kita. Pertama, Allah tidak puas menempati tempat kedua. Ia mau menjadi Tuhan atas segalanya. Dalam Keluaran 20:3, Allah tidak mau ada allah lain di hadapan-Nya, senada dengan Matius 6:24, yang menyatakan bahwa kita tidak dapat melayani dua tuan. Dengan kata lain, tidak ada apa pun dalam hidup kita yang boleh mendahului Tuhan – bukan bisnis kita, bukan uang, bukan keluarga, bukan apa pun dalam dunia ini.
Alasan kedua untuk mengutamakan Allah dalam bisnis kita ada terdapat dalam Matius 6:33, ayat ini menunjukkan bahwa bila Tuhan, menempati kedudukan pertama dalam bisnis kita, maka segala hal yang dicari-cari oleh orang-orang dunia ini akan diberikan Tuhan kepada kita sebagai bonus, sesuai dengan hal yang terbaik bagi kita.
Pertanyaan kedua muncul karena seringkali manusia menganggap bahwa uang adalah segala-galanya, uang adalah jaminan hidup, dengan uang orang dapat membeli segalanya, dan anggapan-anggapan lain yang sama sekali bertentangan dengan firman Tuhan. Uang cenderung memberikan ketentraman palsu dalam hidup kita. Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus menceritakan seorang kaya yang bodoh (Lukas 12:13-21) yang mengira bahwa uang adalah jaminan hidup. Ia bodoh karena tidak bersandar kepada Allah dan karena ia tidak menyadari bahwa kekayaan tidak dapat memberikan jaminan hidup di masa depan. Hanya Allah saja yang mempunyai kuasa atas hidup kita di masa sekarang dan yang akan datang.
Akhirnya Tuhan menunjukkan mengapa orang kaya ini bodoh, yaitu karena ia telah bersikap serakah dan mementingkan dirinya sendiri dengan kekayaannya. Ia berusaha untuk mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri dan bukan untuk kemuliaan Tuhan. Dalam Matius 6:19-21, dikatakanh di mana hartamu berada di situ hatimu berada. Seringkali hati orang tertuju kepada bisnisnya, dan bukan lagi kepada Tuhan.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul karena adanya anggapan yang salah mengenai tanggung jawab orang-orang Kristen dalam hal hartanya. Kepada siapakah kita bertanggung jawab dengan harta yang kita miliki? Tentunya kepada Allah. Kita bukanlah Owner (pemilik) tapi kita adalah manager (pengelola). Itulah sebabnya Ayub berkata “…Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayub 1:21). Semakin kita menjadi manager yang bertanggung jawab, maka semakin banyak berkat yang Tuhan percayakan kepada kita.
Intinya ialah, bahwa Allah ialah tuan rumah, dan manusia adalah hamba-hamba yang dipasrahi tugas mengatur urusan rumah tangga. Seluruh kuasa ada pada tangan Allah, dan manusia bertanggung jawab penuh kepada-Nya. Ialah pemilik segala sesuatu, manusia tak memiliki apapun jua. Yang diberikan kepada manusia adalah kepercayaan untuk mengelola dan mengurus milik Allah itu, serta mempertanggungjawabkannya.9
Maka di bagian terakhir adalah bahwa segala yang kita terapkan tentunya adalah prinsip-prinsip yang sesuai dengan apa yang Allah kehendaki lewat firman-Nya. Mazmur 19:8-12, pelajari firman Allah dan terapkanlah. Matius 7:12, perlakukanlah orang lain seperti Anda ingin diperlakukan sebagaimana yang Anda inginkan. Kalau Anda ingin diperlakukan adil, maka berbuatlah adil kepada semua orang. Berikanlah keuntungan terbaik untuk Allah (Amsal 3:9-10). Bersikap jujur dan tulus (Amsal 16:11; 21:6-7; Ulangan 25:15). Rajin (Amsal 10:4; 13:4). Terapkanlah kebenaran-kebenaran ini dalam hidup dan bisnis, maka kita akan melihat keberhasilan dan kesuksesan yang Tuhan sediakan untuk kita.