JBlogs~Pada tahun 800-san Masehi di Cotabato Mindanauw sekarang
Filipina dahulu ada sebuah kerajaan suku bangsa negrito yang dipimpin
oleh seorang Kulano(raja). Kerajaan ini diserang oleh suku bangsa
Mongolia, akan tetapi seorang anak raja yang bernama Humansandulage
beristeri Tendensehiwu berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya
antara lain Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan yang
memiliki
papehe (ikat pinggang dengan ukuran satu jengkal), lenso
(saputangan), dan paporong (ikat kepala). Dengan melemparkan ikat
pinggang berukuran satu jengkal kelaut yang kemudian menjelmah menjadi
Dumalombang atau ular naga besar.
Dumalombang membawa mereka ke Selatan
lalu tiba di daerah Molibagu. Ditempat ini mereka berkabung sambil
menangis selama empat puluh hari empat puluh malam. kemudian mereka
berikhar menjadi suku bangsa yang baru yaitu Suku Bangsa Sangihe.
Setelah masa perkabungan berakhir mereka hidup menetap dihutan yang
terletak di sebuah puncak bukit lalu mendirikan sebuah kerajaan yang
bernama Wowontehu/Bowontehu.
Bowontehu berasal dari bahasa Sangihe yaitu
Bowong artinya atas dan Kehu artinya hutan. Jadi Bowontehu adalah
kerajaan yang terletak diatas hutan. Humansadulage sebagai Kulano
(Datu/Raja) dan Tendensehiwu sebagai Boki (Permaisuri). Humassadulage
dan Tendensehiwu memperanakan Budulangi. Budulangi bersiteri Putri Ting
yang berasal dari khayangan. Budulangi dan Putri Ting memiliki seorang
anak perempuan yang bernama Toumatiti. Toumatiti hamil dari seorang
Pangeran yang datang dalam mimpinya, Maka lahirlah seorang putra diberi
nama Mokodoludud. Mokodoludud yang artinya Pangeran dari khayangan.
Mokodoludud menikah dengan Bania yang keluar dari buluh tipis kuning
ditemukan dihutan oleh pasangan suami istri yaitu Sanaria dan Amaria
lalu dipelihara.
Pada Suatu ketika Tahun 1000-an Masehi terjadi pergolakan
perang disana-sini sehingga Mokodoludud beserta para pengikut yang setia
meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang Bentenan di baling-baling yaitu
tempat yang bernama Posolo berada disebelah timur Malesung atau Minahasa
sekarang disebut Lembe. Ditempat ini mereka tinggal tidak lama sebab
diserang oleh Suku Mori, Laloda dan Mangindanouw. Mokodoludud dan
rombongan mengungsi ke sebuah gunung dengan jalan mengintari (belitan)
lalu tempat itu disebut Lokong. Baunia melahirkan seorang putra bagi
Mokodoludud lalu diberi nama Lokonbanua. Kemudian Mokodoludud ingin
mencari tempat seperti pasang bentenan lalu berangkat dan tiba di pulau
Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou berasal dari bahasa Sangir yaitu
Mararau; Marau yang artinya Jauh.
Mokodoludud membangun kembali kerajaan Bowontehu dengan
pusat pulau Manarouw dengan gelar Kulano. Di Manarouw ini Mokodoludud
dan Baunia dikaruniai lagi anak yang bernama, Jayubangkai, Uringsangiang
dan Sinangiang. Penduduk kerajaan ini berkembang bertambah banyak
sehingga sebagian mendiami daerah bagian utara dataran pulau Sulawesi
yaitu Gahenang/Mahenang nama kuno untuk Wenang berasal dari bahasa
Sangir Tua yaitu artinya api yang menyala/bercahaya/bersinar(suluh,
obor, api unggun). Perpindahan dilakukan dengan menggunakan perahu
(Bininta), melalui tempat yang bernama Tumumpa berasal dari bahasa
Sangir yang artinya turun sambil melompat,kemudian menetap di Singkil
berasal dari bahasa sangir Singkile artinya pindah/menyingkir. Mereka
menyebar sampai ke Pondol bahasa Sangir disebut Pondole artinya di
ujung. Wilayah kerajaan Manarouw sesuai memori Padtbrugge disebut
menurut nama asalnya meliputi : P. Manado Tua, P. Siladeng, P. Bunaken,
P. Mantehage, P. Nain, P. Talise, P. Gangga, P. Bangka dan P. Lembeh
serta daerah pesisir pulau Sulawesi. .***[Sumber tulisan: Buku karya
Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen yang berjudul
“SILSILAS/TARSILAS (GENEALOGIES) AND HISTORICAL NARRATIVES IN SARANGGANI
BAY AND DAVAO GULF REGIONS, SOUTH MINDANAO, PHILIPPINES, AND
SANGIHE-TALAUD ISLANDS, NORTH SULAWESI, INDONESIA” halaman 251-252].
Penduduk Kerajaan Bowontehu/Manarouw adalah orang sangir (Graafland,
Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit).
Pada suatu ketika kembali Mokodoludud memerintahkan
rakyatnya membuat perahu(Bininta), setelah selesai pembuatannya maka
diuji kemampuan untuk mengapung, mendayung serta berlayar dari perahu.
Kapal tersebut memuat putra-putri raja yaitu Lokonbanua, Uringsangiang,
Sinangiang beserta Batahalawo, Manganguwi, Bikibiki, Banea dan Tungkela.
Raja Mokodoludud berpesan kepada anak-anaknya agar selama dalam
pelayaran tidak boleh mengeluarkan sepatah katapun, akan tetapi
Sinangiang lupa ketika melihat sebuah pulau lalu bertanya pulau apakah
itu ?. Maka tiba-tiba badai mengamuk sehingga terdampar di pulau
Tagulandang, Siau dan Sangir. Ditempat ini Uringsangiang dan Sinangiang
menangis terus menerus sehingga tempat ini disebut Sangihe yang bersasal
dari kata Sangi, Sangitang, Masangi, Mahunsangi artinya menangis.
Mereka hidup dan menetap ditempat ini, Lokonbanua menikah dengan
Sinangiang.
Pada tahun 1380 seorang pedagang arab bernama Sharif Makdon
setelah mengunjungi ternate lalu tiba di Manarouw(Manado Tua)
menyebarkan Agama Islam kemudian berangkat ke Mindanouw. Kemudian jalur
ini diikuti oleh pelaut asal Portugis Pedro Alfonso pada tahun 1511,
Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis
secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada
tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke Manarouw,(Pulau
Manado Tua).
Lokon Banua II (leken artinya nama yang diangkat kembali)
adalah keturunan kesembilan dari Raja Mokodoludud Kulano(raja)
Bowontehu. Berlayar dari Manarouw bersama dengan pengikutnya pergi ke
pulau Siauw lalu mendirikan kerajaan Leken Banua II atau Karangetang
pada tahun 1510. Lokongbanua II Keturunan ke 9 dari Raja Gumansalangi
putra raja Tumondai dengan Boki Bitang Keramat kakak kandung pendiri
Kiraha (Kedatuan ternate) dari Cotabato di Mindanauw Philipina Selatan
Pendiri Kedatuan Tampung Lawo abad 12 serta cucu dari Datu Hinbawo I
dari kerajaan Sulu beristrikan Sangiang nilighidé dan mempunyai anak
perempuan, Umbongduata namanya. Umbongduata ini jadi salah satu isteri
dari Datuk Pahawonsulugé, lalu mempunayai anak Lokongbanua II.Bangsa barat yang pertama-tama menemukan Manarouw ialah pelayar Portugis Simao d’Abreu pada tahun 1523.
Nama Manarow dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta
dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manarouw menjadi pintu gerbang
transit kawasan timur Indonesia bagi kapal-kapal dagang bangsa asing,
sehingga menjadi daya tarik bagi pedagang Cina.Pada tahun 1563 Peter Diego de Magelhaes dari Portugis
berangkat dari Ternate menuju Manarouw mengajarkan pokok-pokok iman
Kristen. Lalu Raja Manarouw bersama rakyatnya 1500 orang dibaptis
kesemuanya adalah orang Sangir. Baptisan dilakukan di muara sungai
Tondano dan dihadiri oleh Raja Siauw bernama Possuma. Raja Possuma lalu
memberi diri untuk dibaptis dengan nama Don Jeronimo (nama portugis)
Kemudian Peter Diego de Magelhaes ke Kaidipan (pesisir utara Gorontalo)
membaptis 2000 orang selama 8 hari.
Tahun 1570 Bulango dari kerajaan Bowontehu (pulau Manarouw)
berlayar menuju Tagulandang. Bulango mempunyai seorang anak perempuan
bernama Lohoraung mendirikan kerajaan Taghulandang atau Mandorokang di
pulau itu bersama para pengikutnya. Bulango adalah saudara dari
Lokongbanua II dimana keduanya adalah keturunan ke sembilan dari raja
Mokodoludut dengan istrinya Baunia dari kerajaan Bowontehu.
Pada tahun 1585 Peter lain mengunjungi Manarouw ternyata iman
Kristen telah lenyap kembali menjadi kafir. 1606 Spanyol merebut
kembali Maluku Utara maka penyebaran agama Kristen kembali dilakukan di
Ternate.
Pada tahun 1614 Spanyol memusatkan kekuatannya di Manarouw
untuk menghadapi serbuan Belanda, dibangun sebuah benteng dipesisir kota
itu yang berhadapan dengan pulau Manado Tua .
1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih agama
menjadi islam. Oleh karena itu Misi Injil mengalihkan penyebaran ke
pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru
lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan
misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil
sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti
dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia
terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap
permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris
asal Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama
Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk
ke pedalaman Minahasa.
Pada tahun 1623 Kerajaan Bawontehu yang berpusat di pulau
Manarouw (Manado Tua) dipindakan ke Gahenang/Mahenang nama kuno Wenang
berasal dari bahasa Sangir artinya api yang menyala atau bersinar
(Suluh,obor), oleh karena dialek bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda
mereka mengucapkan Wenang demikian juga dengan Manarouw disebut Manado.
Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan Manarouw dengan
raja bernama Laloda Daloda Mokoagow pada kurun waktu tahun 1644-1674.
Penduduk kerajaan ini adalah orang sangihe (Graafland, Minahasa masa
lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit). Raja Loloda Daloda Mokoagow
ini adalah anak dari Raja Tadohe. Sedangkan Tadohe sendiri adalah cucu
dari Raja Siauw yang bernama Possuma dan cicit dari raja
Tabukan(Rimpulaeng) Don Francesco Macaapo Juda I. Kerajaan Manarouw
adalah sebagai kerajaan terjauh dari wilayah toritorial kerajaan
Sangihe. Setelah Raja Laloda Daloda Mokoagow kemudian menjadi raja
adalah Donangbala yang memiliki pedang sakti.
Suku Bantik bukan penduduk pertama yang mendiami Manarow
menurut cerita Pada Tahun 1654 Salah satu kerajaan di Sangir yakni
kerajaan Malingaheng Kendahe yang dipimpin oleh Raja Sahmensi Arang
(Syam Syach Alam)mempunyai seorang anak bernama Putri Bulaeng Tanding.
Kerajaan ini dengan wilayah bagian barat pulau sangihe hingga pulau
Kaluwurang. Kerajaan ini tenggelam oleh karena peritiwa Dimpuluse (air
jatuh dari langit)mereka terdampar di tempat yang bernama Panimbuhing.
Bukti peristiwa ini adalah Tanjung Maselihe di dalam terkubur kursi emas
dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu. Dari peristiwa
tersebut sebagian selamat termasuk seorang yang bernama Bantik. Kemudian
mereka mengangkat Bantik sebagai pemimpin lalu berihkrar menjadi satu
suku yang baru yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka tidak boleh
hidup bersama dalam satu wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang
kembali. Maka diatur kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke
Mindanao,ke Beo, ke kema, ke Belang,ke Manaraw, Leok-Buol sedangkan
Bantik sendiri pergi ke Mongondow. Jadi suku Bantik merupakan anak suku
dari suku Sangir.
Dalam surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun
1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada
tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya
Pater Lorenzo Garalda. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk
membunuh semua Missionaris Spanyol. Rencana para walian bocor hingga
para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu
ke Siauw.
Tahun 1655 Pembangunan Benteng
‘De_Nederlandsche_Vastigheit‚’ dari kayu-kayu balok sempat menjadi
sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan
pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting
untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai
Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol.
Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Awal Tahun 1661 Kos
dari Ternate berlayar menuju Manarouw disertai dua kapal perang
Belanda, Molucco dan Diamant. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol di
Manarow. Tahun 1673 Belanda memapankan pengaruhnya di Manarouw dan
merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Lalu Benteng
ini diberi nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur
VOC dari Ternate. Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak
dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 – 1950).
Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat
di Manado sudah sangat lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta
Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi
pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi
bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)
Pada tahun 1677 Compeni mengadakan perjanjian dengan Raja
Siau dengan persaratan kesepakatan bahwa Raja serta rakyat harus beralih
agama dari Kristen Katolik menjadi Protestan. Gubernur VOC Maluku,
Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa
orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama di Manado,
yakni sekitar tahun 1332.
Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari
1679 hal 61). Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau
Kaporo (orang yang hidup digunung), sehingga orang Minahasa disebut
orang gunung. Manarauw adalah wilayah toritorial dari kerajaan
Sangihe-Talaud.
Perserikatan Pekabaran Injil Belanda Van der Kamp mendirikan
NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa.
Tahun 1819 Lenting berkunjung ke Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds.
Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan lagi,lalu mereka
melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan
diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss, L.Lamers di Kema (
meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di Manado)
Mereka meninggal karena penyakit Typus.Dalam pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari kalangan turunan Eropa.Tahun
1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn. 4 tahun
kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 Orang pelayan yaitu : Johann
Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwars. Tahun 1855, NZG mengutus
S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke Sangihe dan membaptis
5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di
Tareran,Minahasa.
Menurut Catatan Robertus Padburgge,1867, kerajaan Manarouw
hancur akibat perang berkepanjangan dengan kerajaan Bolaang. Perang ini
menyebabkan penduduk berserak sebagian ke pulau Sangir, Likupang dan
Bitung. Menurut penuturan tua-tua bahwa sebagian orang sangir
meninggalkan Manarouw akibat kekurangan makanan karena diserang oleh
gerombolan kera serta adanya wabah penyakit. Penduduk yang kuat pergi ke
Sangir, Likupang dan Bitung sedangkan yang sakit-sakitan mereka tetap
tinggal menetap di Manarouw. Kerajaan ini didalam buku Kakawin Negara
Kerta Gama oleh Empu Prapanca tahun 1365 disebut sebagai Uda Makataraya.
Wilayah kerajaan ini terpisah dari sejarah orang Sangir-Talaud setelah
Belanda dengan VOC menguasai perdagangan wilayah ini dengan kontrak
perjanjian yang ditanda tangani oleh raja-raja Siau (arsip Perpustakaan
Sulut)dan pada tahun 1908-1912 Manado dan sekitarnya diserahkan oleh
raja Siau XVIII bernama A.J. Mohede kepada Assisten Residen, serta pada
tahun 1951 dimana Manado menjadi Daerah Bagian Kota dari Minahasa sesuai
Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tetapi
hingga kini penduduk terbanyak di Kota Manado berasal dari Etnis Sangihe
Talaud.
Sumber : https://manarow.wordpress.com/2012/08/02/sejarah-suku-sangihe/