JBlogs~Untuk mendalami kebudayaan sangihe, sebaiknya memahami
sastera lisan sangihe, sastera lisan sangihe adalah salah satu bukti
peninggalan kebudayaan sangihe masa lalu yang masih dilestarikan
sampai saat ini. Dari beberapa sastera lisan sangihe yang paling
melegenda adalah cerita Gumansalangi.
Dari cerita tersebut kita
dapat melihat keberadaan sangihe dari penduduk mula-mula sampai
terbentuknya kerajaan-kerajaan yang menjadi dasar terbentuknya
sebuah suku yang dinamakan suku sangihe.
Kisah Gumansalangi sebagai penduduk mula-mula tergambar
secara utuh dalam “Tamo” karena tamo telah menjiwai kelahiran sangiang konda sebagai ibu dari orang-orang sangihe. Cerita Gumansalangi dan pembentukan kerajaan sudah ditulis banyak orang meskipun hanya dalam tulisan-tulisan lepas, bukan dalam sebuah buku yang sangat lengkap.
Kisah Gumansalangi sebagai penduduk mula-mula tergambar
secara utuh dalam “Tamo” karena tamo telah menjiwai kelahiran sangiang konda sebagai ibu dari orang-orang sangihe. Cerita Gumansalangi dan pembentukan kerajaan sudah ditulis banyak orang meskipun hanya dalam tulisan-tulisan lepas, bukan dalam sebuah buku yang sangat lengkap.
Ada banyak tulisan yang dilengkapi dengan tahun kejadian, tetapi
belum bisa diakui karena semua cerita tentang Gumansalangi,
tidak pernah dibukukan dimasa lalu sehingga terjadi
kesimpangsiuran. Mungkin cerita lengkap tentang Sangihe boleh
ditelusuri di Belanda untuk mandapatkan kepastian yang lebih ilmiah
dan dapat diakui oleh publik yang lebih luas.
Seperti pepatah mengatakan “tak ada rotan akarpun jadi”. Kita sebagai generasi baru tidak bisa lagi menunggu “pemerintah” untuk
mendanai penelitian dan penulisan tentang sejarah dan kebudayaan
sangihe secara komprehensip. Karena lebih banyak orang sangihe “ndak” mau peduli, dari pada yang terpanggil untuk berbuat menggali kekayaan budaya.
Tokoh Gumansalangi sudah diceritakan berabad-abad lamanya di
kepulauan sangihe melalui cerita lisan dari generasi kegenerasi
secara turun-temurun. Sejak masuknya bangsa Eropa, cerita
Gumansalangi mulai ditulis oleh para budayawan, sejarahwan dan
pemerhati sejarah dan kebudayaan sangihe lainnya dalam bentuk
tulisan-tulisan lepas.
Cerita Gumansalangi pertama kali diterjemahkan Desember 1993 di
Biola University – Los Angles. Kisah Gumansalangi terbaru ditulis oleh
Kenneth R. Maryott, seorang berkebangsaan Amerika yang bekerja
sebagai dosen bahasa Inggris di Philliphin dalam buku yang
berjudul “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau SangihÄ• “. Buku
tersebut ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Sangihe,bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, diterbitkan oleh “ The Committee For The Promotion Of The Sangir Language, Davao - Phillphiness, 1995. Kenneth bertindak sebagai editor, berdasarkan penuturan dari Bapak Haremson E. Juda.
Disamping itu terdapat juga cerita tentang Makaampo. Cerita
Makaampo pertama kali ditulis dan dipublikasikan dengan judul “BÄ•keng
Makaampo (The Story of Makaampo)” dari artikel journal “Majalah
Bijdragen tot de taal,- Land – en Volkendkunde, Volume 113 (1957)
Cerita Gumansalangi berasal dari kepulauan Sangihe Talaud, yang diceritakan sebagai folklore atau cerita rakyat. (Folklore adalah unsure kebudayaan dari masa silam yang menuju ke ambang kepunahan).
Banyak cerita yang berkembang di kepuluan sangihe tentang
Gumansalangi tetapi intinya berkisah tentang penduduk sangihe pertama.
Permasalahannya adalah Siapa dan dari mana asal Gumansalangi yang
sebenar – benarnya. Sampai kapanpun tidak akan mungkin ditemukan
kebenaran secarah ilmiah siapa Gumansalangi. Penyebabnya adalah belum
ditemukan bukti melalui naskah kuno atau prasasti yang menulis
atau memberikan gambaran tentang kehidupan Gumansalangi. Hal ini
terjadi juga pada beberapa folklore lain disulawesi utara
seperti cerita Toar dan Lumimuut dari Minahasa, cerita Gumalangi
dan isterinya Tendeduata penghuni pertama Bolaang Mongondow, cerita
seperti ini tetap menjadi legenda.
Kenapa cerita Gumansalangi memiliki banyak bentuk,dari alur cerita
maupun kesesuaiannya dengan sejarah Sangihe. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal yaitu : Cerita Gumansalangi merupakan sastera
lisan, yang hanya diceritakan dari mulut ke mulut, keadaan ini
memungkinkan terjadinya berbagai perubahan. Perubahan dapat terjadi
berdasarkan siapa yang pertama mengisahkan, siapa yang
mendengarkan, kepada siapa kisah itu diturunkan dan dilingkungan
apa cerita itu dikembangkan.
Berdasarkan beberapa cerita yang berkembang dimasyarakat sangihe
terdapat beberapa cerita berdasarkan tempat dimana cerita itu
berkembang diantaranya ; Cerita Gumansalangi versi Siau, Cerita
Gumansalangi versi Talaud, Cerita Gumansalangi versi pulau Sangihe
besar. Dikalangan orang sangihe sendiri terdapat beberapa bentuk,
seperti versi cerita Gumansalangi dari orang-orang yang ada di
bekas kerajaan Tabukan dan diluar kerajaan Tabukan. Diantara
beberapa versi tersebut dapat dipaparkan beberapa versi yang
memiliki perbedaan.
Versi pertama (versi siau)
Gumansalangi adalah kulano pertama di Pulau Sangihe besar.
Gumansalangi bersiteri Ondaasa yang disebut juga Sangiangkonda atau
Kondawulaeng. Gumansalangi adalah Putera Mahkota dari kesultanan
Cotabato,Mindanao Selatan akhir abad ke XII. Mereka
diperintahkan untuk pergi ketimur oleh ayah Gumansalangi dengan
maksud supaya mereka dapat mendirikan kerajaan baru.
Berangkatlah mereka dengan menunggangi ular terbang sampai ke
Pulau Marulung (pulau balut), kemudian keselatan menuju pulau
Mandolokang (pulau Taghulandang) dipulau ini mereka tidak turun
tetapi melanjutkan perjalanan ke pulau lain melewati pulau Siau
dan turun di pulau Sangihe besar.
Dalam perjalanan, ikut pula saudara laki-laki dari Kondaasa bernama Pangeran Bawangunglare. Mereka lalu mendarat di pantai Saluhe. Dikemudian hari nama Saluhe berubah menjadi Saluhang dan kini menjadi Salurang.
Karena Gumansalangi adalah seorang bangsawan maka tempat
tersebut dinamakan Saluhang yang berararti ”dieluk-elukan” dan
dipelihara supaya dia bertumbuh dengan baik dan subur. Sejak
kedatangan Gumansalangi dan Kondaasa di saluhe, selalu saja
terdengar gemuruh dan terlihat kilat yang datang dari gunung.
Gumansalangi lalu diberikan gelar Medellu yg berarti Guntur dan Kondaasa diberikan gelar Mengkila
yang berarti cahaya kilat. Gumansalangi dan Kondaasa memiliki
dua orang putra bernama Melintangnusa dan Melikunusa.
Gumansalangi lalu mendirikan kerajaan pada tahun 1300.
Wilayah kerajaannya sampai ke Malurung (Pulau Balut /
Philliphina).Saudara laki-laki Kondaasa melanjutkan perjalanan ke
kepulauan Talaud tepatnya di pulau Kabaruan. Sampai saat ini
tempat yang pertama kali diinjak oleh Pangeran Bawangunglare,
dinamakan Pangeran.
Gumansalangi menyerahkan waris raja kepada anaknya yang sulung
Melintangnusa pada tahun 1350. Anak bungsu Melikunusa mengembara
ke Mongondow dan memperisteri Menongsangiang putri raja
Mongondow.Melikunusa meninggal di Mongondow sedangkan Melintangnusa
meninggal di Philliphina pada tahun 1400. Sesudah wafatnya
Malintangnusa, kerajaan terbagi dua yaitu kerajaan Utara bernama
Sahabe atau Lumage dan kerajaan Selatan bernama Manuwo atau
Salurang. (dari beberapa catatan lepas pemerhati sejarah sangihe).
Versi kedua
Terbentuknya kerajaan pertama Sangihe berakar dari cerita tentang Gumansalangi. Humansandulage
beristeri Tendensehiwu dan memperanakan Datung Dellu. Datung Dellu
bersiteri Hiwungelo dan memperanakan Gumansalangi.
Gumansalangi, setelah mempersunting Ondaasa berlayar dari Molibagu
melalui pulau Ruang,Tagulandang,Biaro,Siau terus ke Mindanao kemudian
kepulau Sangihe, mereka tiba di Kauhis lalu mendaki Gunung
Sahendarumang dan berdiam disana sampai terbentuknya kerajaan
Sangihe pertama bernama Tampungang Lawo pada tahun 1425.
( Iverdikson Tinungki dalam tabloid Zona utara )
Versi ketiga
Gumansalangi adalah anak seorang raja dari sebuah kerajan kecil
diwilayah Philiphina bagian selatan. Ibunya meninggal ketika
Gumansalangi masih kecil. Raja kemudian menikah lagi dengan
perempuan lain dan melahirkan seorang puteri. Pada suatu pesta sang
puteri atas perintah ibunya mempengaruhi Raja dengan sebuah
permintaan dan berkata ”harta kekayaan tak penting bagiku yang
kuinginkan adalah agar Ayah dapat membunuh Gumansalangi. Permintaan ini
dilakukan agar tahta kerajaan tidak jatuh ketangan Gumansalangi.
Keinginan itu diketahui oleh Batahalawo dan Batahasulu atau
Manderesulu orang sakti kerajaan pengikut Gumansalangi, mereka lalu
meberitahukan rencana itu pada Gumansalangi. Batahalawo kemudian
melemparkan ikat kepala ( poporong ) kelaut yang kemudian menjelmah
menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang
membawa terbang Gumansalangi dan tiba di Rane dan tebing Mênanawo
lalu mengitari bukit Bowong Panamba,Dumêga dan Areng kambing. Setibanya
ditempat yang baru, setiap malam Gumansalangi hanya mendengarkan
suara burung pungguk atau Tanalawo, arti lain dari Tanalawo
adalah Pulau Besar.
Pada suatu senja digubuknya kedatangan seorang nenek yang
memerlukan tempat berteduh. Malam berikutnya dia didatangi lagi
seorang gadis cantik. Dua persitiwa membingungkan hati Gumansalangi.
Disaat tenang terdengar suara yang berkata ambilah telur dipucuk
pohon yang besar itu dan jangan sampai pecah. Ditebangnyalah
pohon tersebut sampai mendapatkan sebutir telur. Telur itu
kemudian pecah dalam perjalanan pulang, dari telur itu keluar
seorang puteri cantik yang kemudian dikenal dengan nama Konda
Wulaeng atau Sangiang Ondo Wasa ( puteri perintang malam ) putri
khayangan. Mereka menikah lalu dinobatkan menjadi Kasili Mědělu
dan Sangiang Měngkila yang berarti Putra Guntur dan Putri Kilat.
Dinamai demikian karena pakaian sang putri berkilau seperti emas
dan pertemuan mereka ditandai gemuruh dari langit. Cerita ini
juga menjadi bagian dari lahirnya nama sangihe, dan menjadi
inspirasi untuk pemotongan kue adat Tamo.
( Toponimi,Cerita rakyat, dan data sejarah dari kawasan
perbatasan Nusa Utara, Sub Dinas kebudayaan kab.Kepl. sangihe, 2006 )
Versi ke empat
Versi ke empat
Tahun 1300, Pangeran Gumansalangi dibuang oleh orang tuanya dari
Cotabato – Mindanao, jauh ketengah hutan. Gumansalangi dibuang karena
tabiatnya buruk. Ditengah hutan Gumansalangi menyadari kesalahannya
sambil menangis-nangis dan tangisannya terdengar sampai kekayangan.
Dia lalu ditolong oleh raja dari kayangan dengan mengirim putri
bungsunya bernama konda kebumi untuk menemui Gumansalangi dalam penyamaran sebagai seorang perempuan yang berpenyakit kulit.
Gumansalangi mengajak perempuan itu untuk tinggal bersamanya.
Tapi beberapa hari kemudian sang putri menghilang karena kembali
kekhayangan. Dua kali putri melakukan hal itu kepada
Gumansalangi. Ketiga kalinya sang putri datang lagi dalam rupa
putri cantik atas perintah ayahnya. Sejak saat itu mereka menjadi
suami isteri.
Setelah menikah, atas perintah sang raja khayangan mereka disuruh
keluar dari hutan tersebut. Kepergian mereka ditemani oleh kakak
sang putri bernama Bawangung – Lare yang menjelmah menjadi
seekor naga. Mereka berangkat ketimur dan sampai ke pulau Marulung
(pulau balut sekarang) Ditempat ini mereka tidak turun karena
tidak ada tanda seperti yang disampaikan oleh ayah
mereka.Tanda-tanda tersebut adalah nampak kilat saling menyambar
dan gemuruh. Perjalanan di lanjutkan melewati Pulau Mandalokang
(Pulau taghulandang sekarang) mereka tidak menetap disana karena
tidak ada tanda dan terus ke pulau Karangetang disana tidak juga
terlihat tanda. Perjalanan dilanjutkan ke pulau Tampungang Lawo
menuju ke gunung Sahendalumang. Di puncak gunung, mereka menemukan
tanda berupa kilat dari atas dan gemuruh dari bawah.
Berdasarkan titah sang ayah, menetaplah mereka di tempat itu.
Gumansalangi diangkat menjadi raja dengan gelar Medellu yang
berarti bagaikan gemuruh, sedangkan Putri Konda dijuluki Mengkila
yang berarti putri kilat. Kerajaan itu bernama kerajaan Tampungan
Lawo.
Tahta kerajaan kemudian diserahkan kepada anaknya yang sulung Melintangnusa
tapi kemudian Melintangnusa pergi ke Mindanao dan menikah dengan
putri Mindanao bernama Putri Hiabĕ anak dari raja tugis. Adiknya
Melikunusa pergi ke daerah Bolaang Mongondow dan menikah dengan putri
Mongondow bernama Menong Sangiang.
Tahta kerajaan dari Melintangnusa digantikan oleh anaknya Bulegalangi. ( sumber cerita dari Bapak H.Juda dalam buku “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau SangihÄ• “).
Melihat penyampaian syair umum dalam berbagai sasalamate tamo yang
diturunkan sejak masa lalu, memberikan gambaran tentang usaha
Gumansalangi memecahkan masalah dan akhirnya mendapatkan apa yang
diinginkan. Tentang telur pada pucuk tamo sudah dijadikan hiasan
utama pada tamo masa lalu sbagai simbol kehidupan baru yang
diamanatkan dalam kisah Konda Wulaeng. Jika pemaknaan filosofi
Tamo adalah gambaran Gumansalangi dan konda wulaeng maka
kemungkinan besar, dari beberapa versi cerita Gumansalangi
diatas yang paling bersesuaian adalah versi ke tiga.