JBlogs~Penggalian bahasa sangihe pernah dilakukan oleh J.N.Snedon dalam buku Proto Sangiric and the sangiric languages.
Bahasa sangihe termasuk rumpun bahasa Austronesia atau Melayu
Polynesia dan tergolong dalam bahasa-bahasa Philliphina. Ahli tata
bahasa sangihe yang terkenal adalah Dr. N. Adriani dengan karyanya Sangirische sprakunts.
Kosa kata bahasa sangihe yang telah dibukukan dapat ditemui
dalam buku karya dari Mr.K.G.F. Steller dan W.E. Aerbersol dengan
judul Sangirische Nederlands woerdenbock. ( Decroly Juda,Spd.Tata Bahasa Sangihe, 2004).
tidak mengenal sistim tulisan sendiri. Sejak masuknya
bangsa Eropa, orang sangihe sudah mulai menggunakan huruf latin
sebagai bentuk tulisan. Pengguna bahasa sangihe meliputi Pulau
Sangihe besar dan pulau-pulau kecil disekitarnya,Pulau siau dan
sekitarnya,Pulau Taghulandang dan sekitarnya,Pulau Talaud dan pulau –
pulau diperbatasan utara Indonesia.
Beberapa daerah disekitar
Minahasa seperti Belang, Bantik,Manado tua, Bunaken, Naenk, Siladeng,
Mentehage, Gangga, Bangka, Talise, Likupang, Lembe, Sebagian Bitung,
daerah dikaki Gunung klabat. Pulau balut dan Pulau saranggani di
Philliphina ( H. Kern dalam Tata bahasa Sangihe, Decroly Juda,2004)
Bahasa sangihe dan bahasa lain di Sulawesi utara memiliki kesamaan tipe yaitu Aglutinered ( bahasa yang berafiks ). Afiks adalah unsur yang ditambahkan pada kata dasar atau bentuk asal ( Daryanto, S.S, Kamus bahasa Indonesia lengkap,1997)
Bahasa Sangihe terbagi dalam 8 dialek yaitu :
- Dialek Tabukan
- Dialek Tahuna
- Dialek Kendahe
- Kolongan
- Manganitu
- Tamako
- Siau
- Taghulandang
(Bawolle, 1981 dalam Prof. A.B.G.Ratu - Bahasa di Minahasa,Profil Kebudayaan Minahasa)
Secara umum, bahasa sangihe hanya memiliki tiga dialek yaitu
dialek Sangihe di Pulau Sangihe,dialek Siau di Pulau Siau dan
dialek Taghulandang di Pulau Taghulandang. Pengguna bahasa Sangihe
di Minahasa diperkirakan berjumlah seratus ribu orang ( Profil Kebudayaan Minahasa 1997).
Di Bolaang Mongondow, pengguna bahasa sangihe meliputi beberapa
daerah seperti Pedukuhan Dodap kecamatan Kotabunan, Poigar, Kecamatan
Lolak, Pangi kec. Sang Tombolang, Bintauna, Mokoditek kec
Bolangintang. ( Sastera Lisan Bolaang Mongondow 1984)
Dalam ilmu Bahasa, huruf adalah perlambang bunyi, untuk menulis aksara sangihe terdiri dari 18 aksara latin yaitu :
(Decroly Juda,S.Pd,tata bahasa Sangihe,2004).
Sastra Sangihe
Suku Sangihe dimasa lalu tidak mengenal sastra dalam bentuk
tulisan tetapi memiliki banyak sastra lisan. Sastera dalam
kehidupan orang sangihe memiliki makna yang sangat mendalam. Boleh
dikata bahwa hidup orang sangihe mengalir bersamaan dengan sastra
lisan, menjadi bagian dari jiwa,dan menjadi pedoman kehidupan
bermasyarakat. Satra sangihe di masa lalu telah melahirkan aturan
terhadap tatanan hidup.
Sastra lisan Sangihe sudah ditulis oleh beberapa orang dari
Belanda terutama para Zending dan pekerja gereja, tapi sampai
saat ini buku-buku tersebut tidak pernah ditemukan. Sastra lisan
sangihe memiliki fungsi masing – masing berdasarkan bentuknya. Dalam
penulisan ini, penulis mencoba memaparkan secara singkat beberapa
bentuk sastra dan hasil karya sastra dari beberapa penggalian yang
sudah terinfentarisasi.
Salah satu hal yang mempersulit penginfentarisasian dan pengembangan sastra lisan sangihe adalah ;
- Kebanyakan dari penutur cerita sudah lanjut usia sehingga memungkinkan punahnya sastera lisan.
- Banyak orang yang memiliki kemampuan menuturkan sastera lisan tidak mau membagikannya kepada orang lain, menganggap bahwa cerita yang dimiliki adalah milik keluarga.
- Tidak adanya sistim pewarisan secara umum. Pewarisan sastera lisan hanya kepada orang - orang tertentu.
- Banyak cerita lisan yang sudah di tulis oleh beberapa pemerhati sejarah dalam bentuk tulisan lepas selalu disembunyikan.
- Tidak adanya kepedulian pemerintah dan pihak terkait untuk mengadakan penggalian sastera lisan sedalam mungkin dan kemudian membukukannya secara lengkap.
Hal-hal yang memperkuat tradisi lisan disangihe sehingga mampu
bertahan adalah keutuhan bahasa sangihe, dan merupakan bagian dari
adat istiadat. Bahasa sangihe digunakan oleh suku sangihe yang
hanya menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Sangihe. Dalam
kehidupan sehari-hari, bahasa Sangihe mengenal stratifikasi dalam
penggunaannya yaitu pembedaan usia lawan bicara. Bahasa sangihe
terbagi dari dua bagian berdasarkan penggunaannya dalam
aktifitas berbudaya dan bermasyrakat yaitu : Bahasa sangihe sehari-hari dan Bahasa Sangihe sastra yang disebut bahasa sasahara.
Sastra lisan sangihe digolongkan dalam beberapa bentuk yaitu :
- Cerita, berupa hikayat raja-raja dan sejarah kerajaan, cerita rakyat dan dongeng, silsilah raja-raja dan silsilah keluarga.
- Prosa
- Puisi
- Me,bowo
- Ungkapan
- Hikayat raja-raja
Sejak masa lalu di Sangihe telah berkembang sastera lisan yang menceritakan kehidupan raja-raja sangihe seperti :
- Cerita Raja Gumansalangi dan Putri Konda asa.
Gumansalangi adalah laki-laki yang datang dari luar kepulauan
sangihe yang kemudian bertemu dengan Putri Konda asa atau Sangiang
Konda Wulaeng. Dari pertemuan dua tokoh tersebut melahirkan sistim
kerajaan di kepulauan sangihe.
- Cerita Raja Syam Syach Alam dari kerajaan Kendahe yang bersetubuh dengan anaknya sendiri putri Bulaeng Tanding yang mengakibatkan hancurnya Tanjung Maselihe. Dari peristiwa tersebut telah melahirkan suku baru yang disebut suku Bantik.
- Cerita Raja Makaampo yang perkasa dan kejam. Makaampo adalah raja yang memiliki banyak isteri. Pernah megadakan ekspansi sampai ke daratan Minahasa dan beberapa kali menghancurkan pasukan bajak laut dari Mindanao. Karena perilaku tersebut akhirnya dikhianati dan dibunuh oleh pengawalnya sendiri bernama Ambala yang bersekutu dengan Hengkeng ‘u naung panglima laut dari kerajaan Siau.
- Cerita kepahlawanan Raja Bataha Santiago yang tidak mau tunduk pada kekuasaan VOC. Akhirnya dia dihukum mati pada tiang gantungan oleh Sultan Kaitjil Sibori (Prins Amsterdam, sultan Ternate yang diangkat oleh VOC), atas perintah Robertus Pardbrugge (Gubernur VOC). Kematian Santiago adalah hasil dari pengkhianatan temannya sendiri bernama Sasebohe dan Bowohanggima.
Disamping cerita tentang raja-raja terdapat juga cerita kepahlawanan para pemberani Sangihe yang disebut Bahaning Beo’e.
Dari sekian banyak cerita kepahlawanan terdapat beberapa cerita
yang melegenda didaerah dimana cerita itu diceritakan seperti :
Cerita tentang Panglima laut Hengkeng’u naung dari kerajaan Siau.
Cerita tentang Ambala pemberani dari Tamako.
- Cerita rakyat dan dongeng.
Ada beberapa cerita rakyat dan dongeng yang sering diceritakan seperti :
- Cerita Angsuang bake, raksasa penguasa gunung awu yang marah dan mengakibatkan lahirnya gunung api Awu.
- Cerita percintaan Sese Madunde dengan seorang bidadari yang kemudian melahirkan pulau siau.
- Cerita upung wuala. Seekor siluman buaya yang hidup di Laine. Jika pemberian yang ia minta tidak diberikan maka siluman buaya akan marah lalu memakan korban manusia. Upung wuala setiap saat selalu melakukan perjalanan dari Laine ke Salurang berjalan tegak seperti manusia dan menggunakan iakat kepala merah.
- Cerita percintaan Bangkoang dengan seorang putri dari ulung peliang berna le’ku dari Tamako,Dari percintaan tersebut melahirkan perkelahian dengan Bahede..
- Prosa
Sastera lisan sangihe yag di golongkan sebagai prosa adalah Sasalamate. Prosa adalah suatu bentuk penulisan cerita yang disusun dengan bahasa puisi.
Sasalamate adalah : puisi bebas yang disusun dari bahasa
sastra sangihe dan ungkapan-ungkapan sasahara yang biasanya
dibawakan pada upacara adat tertentu,guna keselamatan bagi orang
yang berkepentingan dengan acara itu. (Gideon Makamea,Mempelajari ungkapan dan sastera daerah, Sangihe I kekendage,2003)
- Puisi
Kesusastraan Indonesia membagi puisi dalam dua jenis yaitu
puisi lama dan puisi baru. Karya sastra lisan Sangihe yang
digolongkan sebagai puisi termasuk dalam puisi lama yaitu :
Pantun (papantung,medenden), Teka-teki (tinggung-tinggung atau
tatinggung) dan mantra ( orang yang ber mantera disebut makalanto).
Dari tiga bentuk puisi sangihe yang paling banyak
perbendaharaannya adalah Mantra.
Sampai saat ini masih banyak mantra yang dapat diinfentarisir
dari penduduk sangihe. Perkembangan mantera di kepl. Sangihe
melalui dua periode yaitu Penggunaan mantra dimasa sebelum Islam
dan di masa sesudah Islam. Salah satu kata inti pada mantra
sebelum masuknya Islam adalah kata ruata, sesudah islam masuk muncul penggunaan kata bismillah.
Mantera sangihe digolongkan menjadi beberapa bagian berdasarkan fungsinya yaitu :
- Mantra untuk membunuh orang yang masih hidup.
- Mantra untuk menghidupkan orang mati.
- Mantra untuk membuat sakit orang yang sehat
- Mantra untuk menyembuhkan orang sakit
- Mantra untuk membuat orang terpikat
- Mantra untuk keselamatan diri.
- Mantra untuk menangkal mantra
- Mantra untuk kesaktian seseorang.
- Mantera yang berhubungan dengan gejala alam seperti menurunkan hujan,menghilangkan hujan,mengusir badai dilaut.
- Bawowo
Dari sekian banyak sastera lisan di sangihe terdapat satu bentuk sastera lisan tertua yang disebut Me,bowo atau Bawowo. Bawowo adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang tua menggunakan syair-sayir indah, bernada seperti nyanyian. Bentuk sastera ini disajikan pada saat menidurkan anak. Isi bawowo terdiri dari satu kalimat.
Contoh bawowo :
kawowo inang kawowo, ana nitendengi lawo,suhiwang takahalaweng ,takaendengangu apa.
Artinya : Sayang si manis saying anak dimanja orang banyak, di pangkuan yang dibentengi tidak akan mengapa.
(Gideon Makamea,Mempelajari ungkapan dan sastera daerah, Sangihe I kekendage,2003)
- Ungkapan
Ungkapan sangihe memiliki kedudukan penting dalam
semua satera lisan sangihe. Hampir semua bentuk
sastera lisan sangihe memuat ungkapan. Pada umunya
Ungkapan sangihe berfungsi sebagai nasehat, peraturan
dan motifasi hidup.
Contoh ungkapan sangihe yang paling dikenal yaitu :
- Somahe kai kehage
- Mekaraki pato tumondo mapia, kaeng balang sengkahindo
- I akang ganting gaghurang
- Nusa kumbahang katumpaeng.
Sumber : BUDAYA INDONESIA.ORG