JBlogs- Tulisan ini, menurut penulis sangat inspiratif dan sangat cocok dengan perkembangan dan keberagamaan bangsa ini, bahkan jadi cerminan bagi sesama anak bangsa, dalam memahami makna perbedaan. Simbol bisa
menjadi suatu kebanggaan, namun simbol juga mampu membuat perbedaan menjadi pertikaian, bahkan sumber perselisihan. Bangsa kita memang terkenal dengan bangsa yang majemuk. Terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat, budaya, maupun agama, yang membuat bangsa ini memiliki banyak perbedaan pandangan, pendapat, sikap, idealisme, keyakinan, maupun karakter.
menjadi suatu kebanggaan, namun simbol juga mampu membuat perbedaan menjadi pertikaian, bahkan sumber perselisihan. Bangsa kita memang terkenal dengan bangsa yang majemuk. Terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat, budaya, maupun agama, yang membuat bangsa ini memiliki banyak perbedaan pandangan, pendapat, sikap, idealisme, keyakinan, maupun karakter.
Kekayaan akan kemajemukan tersebut, tentu bukan saja menjadi kebanggaan tetapi juga sumber perpecahan, jika anak bangsa tidak memahami makna dari perbedaan itu sendiri.
Kemajemukan bangsa kita tentu tidak sejalan dengan kedewasaan dalam berdemokrasi dan bernegara. Bagaimana tidak, masih banyak masyarakat Indonesia dikotak-kotakan berdasarkan simbol-simbol, maupun merek tertentu.
Semoga dengan tulisan dari Abang Denny Siregar, mampu membuka mata hati kita memahami arti perbedaan, serta tulisan ini menjadi pemersatu dalam memajukan bangsa Indonesia.
Berikut ulasan dari (http://dennysiregar.com)
Kita hidup di negeri simbol. Semua harus ber-simbol, tanpa simbol maka semua menjadi tidak ada.
Simbol menjadi sebuah ukuran, bahkan
berkembang menjadi merk dagang. Ketika sukses harus tersimbol-kan dengan
kekayaan, maka kita akan mengejar
simbol itu untuk mendapat pengakuan.
Bahkan kemiskinan-pun pun mempunyai simbol tersendiri. Ketika kita hidup
dalam lorong-lorong sempit, ketika kita menjadi “hanya” seorang penarik
becak, maka kitapun di simbolkan si miskin. ” Belajarlah yang baik,
supaya besarnya jangan jadi tukang becak…”
Bahkan gender pun bersimbol.
Lelaki harus ter-simbolkan jantan, gagah
dan tahan lama. Karena terus menerus di doktrin seperti itu, maka
muncul-lah si Aceng dengan segala bendanya yang mujarab. Mulai dari obat
biru yang bisa mem-berdirikan daging yang semula diam membisu sampai
pembungkus yang bergerigi dan berasa strawberry supaya tetap disayang
istri.
Wanita tidak kalah serunya. Ia harus
tersimbolkan cantik, langsing, berambut bak mahkota sampai ber-alis
runcing. Ketika seorang wanita tidak seperti simbol itu, maka ia di
simbolkan sebagai seorang wanita yang tidak mampu mengurus diri. Kasihan
sebenarnya, karena mereka akhirnya menjadi bidikan empuk penjual “rasa
percaya diri”.
Simbol-simbol itu sudah masuk pada ranah keyakinan. Tuhan-pun bersimbol.
Si A Tuhannya begini, tidak sama dengan Tuhanku. Si B Tuhannya begono lebih mulya daripada Tuhanmu.
Bahkan agama yang seharusnya sebuah
“petunjuk” pun beralih menjadi simbol. Entah kenapa manusia bisa begitu
bodoh dan tidak ada rasa puasnya. Agama memjadi merk dagang, mana yang
paling laris. Ketika akhirnya si A pindah ke si B, mereka-pun keras
bertakbir. Ketika si B pindah ke si A, maka dibuatlah kesaksian.
Ketika seorang merasa, “ini sudah masuk
bulan reliji..” maka mereka berbondong-bondong menutup dirinya dengam
aksesoris agamis. Bahkan dalam tempat ibadahpun, mereka tetap ingin di
ukur manusia lain. Berpakaian menarik dan wangi, supaya mata yang lain
melirik.
Pertanyaannya, kenapa manusia membutuhkan simbol dalam hidupnya?
Jawabannya sederhana saja, kebodohan.
Karena kebodohan-lah maka kita
membutuhkan sebuah simbol, karena simbol itu berarti pengakuan, sebuah
ukuran. Tanpa simbol, serasa ada yang kurang. Simbol itu harus berwujud,
karena yang tidak berwujud berarti tidak eksis. Simbol itu harus-lah
dalam bentuk yang bisa dipamerkan.
Padahal, mampukah simbol itu
menyelamatkan kita di hari pengadilan? Saat kita semua dilucuti dari
semua bentuk yang membedakan? Ketika kita semua berjalan telanjang dan
sama tanpa ada pengecualian?
Seperti secangkir kopi yang sudah tidak
mampu lagi kita bedakan manakah yang robusta, mana yang arabica dan mana
campuran keduanya. Baru terasa bedanya ketika ia di-seruput.
Nikmat-nyalah yang membedakan cangkir kopi satu dengan yang lainnya.
Begitu juga kita. Hanya di ukur dari
amal dan perbuatan yang tidak bisa di pamerkan, dan hanya bisa terukur
ketika berada dalam timbangan…
” Mereka yang akalnya melemah, kebanggaan dirinya menguat..” Imam Ali as